Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mengakomodir pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Pengakuan itu dianggap menjadi persetujuan untuk penindakan hukum yang sampai sekarang belum ditegakan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, pihaknya menunggu perintah dari Presiden Jokowi terhadap kasus-kasus yang ada untuk diprioritaskan penyelesaiannya. Setelah itu, jaksa penyidik akan mendalami kembali kasus tersebut untuk dibawa ke meja hijau.
“Kita siap bukan masalah siap dan enggak siap, penegak hukum itu kan selalu siap. Tetapi, yang mana yang menjadi prioritas dan yang mana dimaksud oleh Pak Presiden? Kami pelajari dulu semuanya, mana yang menjadi prioritas dikaji dulu, enggak bisa langsung. Karena itu pelik ya,” kata Ketut kepada wartawan, Rabu (11/1).
Pendalaman dapat dilakukan dan tidak perlu membentuk tim khusus, sebab kejaksaan sudah memiliki direktoratnya sendiri. Ia pun meyakini, Jaksa Agung ST Burhanuddin memahami kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi prioritas.
Kini, kejaksaan hanya perlu menunggu surat perintah dari Presiden Jokowi dalam penanganan kasus-kasus tersebut. Sehingga, pekerjaan rumah (PR) dapat dituntaskan.
“Kami ini kan anak buahnya (Presiden Joko Widodo), pasti akan kami laksanakan apapun perintahnya yang penting aturan hukumnya kita penuhi semua,” ujar Ketut.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia memandang pengakuan Presiden Jokowi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu, tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum. Kendati demikian, pihaknya tetap menghargai sikap Jokowi dalam mengakui terjadinya pelanggaran HAM sejak1960-an di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pernyataan ini sudah lama tertunda. Pasalnya, para korban dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan dan kebenaran selama beberapa dekade.
Usman pun berpandangan, pengakuan tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam luka korban dan keluarganya.
“Presiden harus perintah kan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan," kata Usman kepada Alinea.id, Rabu (11/1).
Apabila, Jokowi benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang harus segera, efektif, menyeluruh. Selain itu, penyidik tidak memihak dalam menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di mana pun itu terjadi. Apalagi, jika ada cukup bukti yang dapat diterima, tentu menuntut para penegak hukum dalam pengadilan bersifat adil di hadapan pengadilan pidana.
Para penegak hukum juga diingatkan bahwa tidak bisa hanya mengatakan tidak cukup bukti. Sebab, selama ini lembaga yang berwenang, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan.
Pemerintah Indonesia diminta untuk melek dalam mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku. Langkah ini sebagai satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM.
"Sederhananya, pernyataan presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas," ujarnya.
Usman menegaskan, Jokowi dan jajarannya, masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) dalam hal ini. Bahkan, isu ini tidak bisa disederhanakan menjadi kasus per kasus.